
Tiakur, Balobe.com – Kegiatan pembersihan batas wilayah yang dilakukan masyarakat Desa Klis, Kecamatan Moa, dihentikan sementara oleh aparat TNI/Polri pada Senin 28 Juli 2025. Kegiatan yang melibatkan empat soa (kampung adat) tersebut menuai kontroversi setelah Kepala Desa Klis dilaporkan tidak mendukung inisiatif warganya sendiri.
Empat Soa Bersatu Lawan Kebijakan Kepala Desa
Pantauan balobe.com masyarakat dari empat soa yakni Lekupun, Simupun, Ersupun, dan Sairupun berinisiatif melakukan pembersihan batas wilayah yang berbatasan dengan Rokseli Desa Patti. Kegiatan dimulai dengan nasihat dari perwakilan empat soa dan tokoh adat Demianus Leloltery, serta doa pembuka dari pendeta setempat.
Namun kegiatan positif ini justru mendapat hambatan dari kepemimpinan desa sendiri. Lokius Lakuteru, perwakilan empat soa, mengungkapkan kekecewaannya terhadap sikap Kepala Desa Klis yang dinilai tidak bertanggung jawab. Bahkan, kepala desa sempat mengumumkan melalui pengeras suara larangan bagi warga untuk melakukan aktivitas pembersihan batas wilayah.
Situasi semakin memanas ketika kepala desa melarang penggunaan fasilitas toa (pengeras suara) untuk mengumpulkan masyarakat. Hal ini memaksa keempat soa mengambil alih kepemimpinan kegiatan di bawah koordinasi kepala soa masing-masing.
Dalil Konstitusi dan Dugaan Sabotase Lahan
Alexander Wondola, salah satu pemuda desa, menegaskan bahwa kegiatan ini merupakan hak konstitusional masyarakat adat. “Ini hak kami dan ini dijamin oleh Konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18B Ayat (2) yang mengatakan menegaskan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya,” tegas Wondola.
Wondola juga mengungkapkan dugaan sabotase yang dilakukan kepala desa terkait lahan di area Bandara. “Kami menduga Kepala Desa Klis sendiri sepihak tanpa sepengetahuan masyarakat telah menyabotase lahan Desa Klis di Bandara dan diberikan kepada Desa Werwaru,” ungkapnya.
Masyarakat menegaskan tidak ada masalah dengan Desa Werwaru dan kegiatan pembersihan batas wilayah merupakan tradisi turun-temurun. “Pembagian pulau Moa ini hanya Moain, Klis, dan Patti,” kata Wondola menjelaskan sejarah wilayah.
Tokoh Masyarakat Dukung Tradisi Leluhur
Semuel Letelay, tokoh masyarakat setempat, menegaskan bahwa kegiatan pembersihan batas wilayah telah dilakukan secara turun-temurun sejak zaman leluhur. “Kegiatan ini sudah dilaksanakan dari turun temurun sejak leluhur, mengapa hari ini kami dihadang oleh pihak aparat penegak hukum?” tanya Letelay dengan nada protes.
Letelay menduga adanya intervensi dari oknum tertentu yang memrovokasi situasi. Ironisnya, kegiatan pembersihan batas wilayah sebenarnya merupakan bagian dari visi misi kepala desa yang kini justru menentangnya.
“Setelah negosiasi ini selesai, kami masyarakat akan evaluasi serta demosi Kepala Desa Klis karena tidak bertanggung jawab membela masyarakat sendiri,” ancam Letelay.
Aparat Jadi Mediator, Tegaskan Netralitas
Kapolres Maluku Barat Daya AKBP Budhi Suriawardhana menegaskan kehadiran aparat bukan untuk menghalangi kegiatan. “Kami hadir bukan menghalangi tetapi kami mau memastikan bahwa kegiatan ini positif dan tidak ada gesekan dari kedua belah pihak,” jelas Kapolres.
Terkait surat yang beredar tanpa kop resmi desa, Kapolres menyatakan tidak dapat memposisikan diri karena surat tersebut tidak menunjukkan legitimasi organisasi pemerintahan desa yang sah.
“Saya tekankan sekali lagi, kalau ada gesekan atau konflik, saya akan mencari siapa orang yang menjadi aktor provokatif di balik masalah ini dan akan saya tindak tegas,” tegas Budhi.
Dandim 1511/Pulau Moa Letkol Inf. Nuriman Siswandi menjelaskan adanya komunikasi yang terputus antar desa. “Menurut Desa Werwaru, mereka menganggap kegiatan ini berbeda, dalam rangka Desa Klis mau menyerobot wilayah. Tugas saya sebagai pengamanan paling utama kami harus menjamin tidak boleh terjadi konflik,” ungkap Dandim.
Anak Soa Serukan Profesionalitas
Ismail Lakuteru yang hadir sebagai anak soa menegaskan kehadirannya murni karena panggilan hati nurani, bukan kepentingan politik. “Beta hadir di sini karena rasa terpanggil sebagai anak negeri Desa Klis, anak soa. Dan kita profesional saja jangan campur aduk semua dengan politik,” kata Lakuteru.
Lakuteru menekankan bahwa kegiatan pembersihan batas wilayah sebenarnya menguntungkan semua pihak, termasuk Desa Werwaru. Ia menduga ada oknum internal yang sengaja menghasut dan memprovokasi konflik.
“Sebenarnya kami dari masyarakat Desa Klis tidak ada masalah tidak ada konflik dengan Desa Werwaru malahan kegiatan yang kami lakukan ini sebenarnya menguntungkan untuk Desa Werwaru sendiri,”ungkap Lakuteru.
“Saya perlu menegaskan bahwa kami hanya melaksanakan kegiatan pembersihan batas wilayah untuk memperjelas batas-batas yang ada. Tujuannya agar kita dapat menyelesaikan akar masalah mengenai posisi wilayah Desa Werwaru apakah masuk dalam wilayah Desa Klis atau Desa Patti.
Jika Desa Werwaru berada di wilayah Desa Patti Rokseli, maka Desa Werwaru akan menyelesaikan persoalan dengan Desa Patti Rokseli. Namun jika wilayah Desa Werwaru masuk dalam wilayah Desa Klis, maka kedua desa ini akan duduk bersama secara kekeluargaan untuk menyelesaikan masalah.
Apabila wilayah Desa Werwaru berada di antara wilayah Desa Klis dan Desa Patti Rokseli, maka ketiga desa akan mencari solusi bersama dengan semangat persaudaraan untuk menyelesaikan permasalahan ini.
Oleh karena itu, saya meminta kepada aparat kepolisian, dalam hal ini Polres Maluku Barat Daya dan Kodim 1511/Pulau Moa, agar kegiatan ini dapat dilaksanakan kembali setelah koordinasi dan negosiasi dengan pihak Forkopimcab. Diperlukan pengamanan yang memadai sehingga masyarakat merasa aman dan nyaman dalam melaksanakan kegiatan ini.”pungkas Lakuteru.
Negosiasi Berlanjut, Kegiatan Ditunda
Setelah negosiasi dengan aparat, kegiatan pembersihan batas wilayah dihentikan sementara menunggu koordinasi dengan Forkopimcab (Forum Koordinasi Pimpinan Kecamatan). Masyarakat berharap proses mediasi dapat diselesaikan secepat mungkin agar kegiatan tradisional ini dapat dilanjutkan dengan aman dan tertib.
Konflik ini menjadi cermin kompleksitas hubungan antara pemerintahan formal dan sistem adat di daerah, serta pentingnya komunikasi yang baik antar pemangku kepentingan untuk menjaga harmoni sosial di tingkat grassroot. (EW-26)
Sangat di sayangkan,kepala desa sendiri tidak mendukung kegiatan desanya sendiri.