
Tiakur, BalobeNews.com
Ia bukan hanya warisan sejarah. Ia hidup dalam cara kita memperlakukan satu sama lain. Ia diam, tapi menghujam.
Budaya feodal adalah cara berpikir yang menempatkan manusia dalam hierarki kaku.
Tua di atas muda. Atasan di atas bawahan.
Pria di atas perempuan.
Bersuara. Kurang Ajar
Bertanya. Melawan
Dulu, ini ditanamkan sejak zaman kerajaan.
Diperkuat oleh sistem kolonial.
Dan kini, kita mewarisinya tanpa pernah benar-benar memilih.
Di keluarga
budaya ini mematikan suara anak-anak.
Orang tua dianggap selalu benar.
Semua harus taat!
Tak ada ruang untuk bertanya, apalagi berbeda pandangan.
Padahal anak juga manusia.
Punya suara, punya batas, punya rasa.
Di sekolah
membuat guru jadi penguasa, bukan pembimbing.
Anak harus diam!
Guru boleh merendahkan.
Sistem nilai tak memberi ruang untuk berpikir kritis.
Padahal pendidikan bukan untuk menaklukkan, tapi membebaskan.
Di kantor.
membungkam yang muda dan cerdas.
Yang muda tak boleh menyanggah.
“Diam aja dulu, kamu baru juga kerja”
Feodalisme menunda kemajuan demi menjaga ego kekuasaan.
Dalam relasi.
membuat laki-laki tak boleh rapuh.
Mereka dibesarkan untuk selalu kuat.
Tak boleh menangis!
Tak boleh minta bantuan!
Padahal di balik tubuh tegap itu, Ada luka yang tak pernah boleh disebut.
Perempuan dianggap harus tunduk dan lembut.
Dilarang bersuara lantang. Dikritik bila mengambil keputusan sendiri.
Padahal perempuan lahir dengan potensi yang sama. Bukan untuk dilunakkan, tapi untuk didengarkan.
Di masyarakat.
yang kaya dan tua dipuja tanpa evaluasi.
Gelar kehormatan jadi tameng.
Status jadi alasan untuk tak tersentuh kritik.
Dan rakyat diajarkan untuk tunduk, bukan untuk berpikir.
Feodalisme.
mengajarkan ketakutan, bukan hormat.
Anak takut orang tua.
Siswa takut guru.
Karyawan takut bos.
Istri takut suami.
Masyarakat takut pejabat.
Dan ketakutan itu diwariskan diam-diam.
Kita mendidik anak seperti dulu kita dididik.
Kita memimpin seperti dulu kita dipimpin.
Dan akhirnya, Kita teruskan luka dengan nama “tradisi”.
Ini bukan tentang membenci yang tua atau pemimpin.
Tapi tentang mengubah cara kita memberi rasa hormat.
“Hormati karena layak, bukan karena gelar.
Dengarkan karena masuk akal, bukan karena usia.
Tapi.
Warisan tak selalu harus diteruskan.
Kita bisa membangun relasi yang setara. A
Keluarga, kantor, dan masyarakat adil.
Karena relasi yang sehat adalah fondasi bangsa yang sehat.
Penulis: Wati
Reporter: Nadlyne