
Tiakur, BalobeNews.com – Pemerintah Indonesia memberikan jaminan kepastian hukum atas pengelolaan dan transfer data pribadi warga negara Indonesia ke Amerika Serikat. Langkah ini menjadi bagian dari kesepakatan dagang bilateral yang diumumkan Gedung Putih pada Senin, 22 Juli 2025 waktu setempat.
Dalam pernyataan resminya, Gedung Putih menyatakan bahwa Indonesia telah menyepakati kerangka perjanjian perdagangan resiprokal yang mencakup komitmen soal kelancaran transfer data pribadi lintas batas. Kesepakatan ini dianggap sebagai terobosan penting bagi pelaku industri digital Amerika Serikat yang selama bertahun-tahun menginginkan reformasi di sektor data Indonesia.
“Indonesia akan memberikan kepastian terkait kemampuan untuk mentransfer data pribadi ke luar dari wilayahnya ke Amerika Serikat,” tulis pernyataan Gedung Putih.
Sebagai bagian dari kesepakatan tersebut, Indonesia mengakui Amerika Serikat sebagai yurisdiksi yang memiliki perlindungan data yang dianggap memadai, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Ketentuan ini membuka jalan bagi perusahaan-perusahaan teknologi AS untuk menyimpan dan memproses data warga Indonesia di luar negeri, termasuk di pusat data yang berlokasi di AS.
UU PDP secara tegas mengatur bahwa transfer data pribadi ke luar negeri hanya dapat dilakukan jika negara tujuan memiliki perlindungan setara atau lebih tinggi dari ketentuan Indonesia. Bila tidak, pengendali data wajib memastikan adanya perlindungan tambahan yang bersifat mengikat, atau memperoleh persetujuan eksplisit dari subjek data.
Namun, pakar keamanan siber dari Vaksincom, Alfons Tanujaya, mengingatkan agar publik tidak terburu-buru menarik kesimpulan mengenai isi perjanjian dagang tersebut. Ia menilai pemerintah perlu menjelaskan secara rinci implikasi kerja sama ini terhadap kedaulatan data nasional.
“Kita lihat saja detailnya dulu dan jangan berkomentar terlalu jauh sebelum tahu detailnya,” ujar Alfons kepada Tempo, Rabu, 23 Juli 2025.
Alfons menjelaskan, perjanjian ini bisa berdampak ganda. Di satu sisi, perusahaan AS seperti Google, AWS, dan Microsoft tak lagi diwajibkan membangun pusat data di Indonesia karena dapat menyimpan informasi di luar negeri. Hal ini berpotensi menurunkan biaya layanan digital. Namun, di sisi lain, hal ini dapat mengurangi kontrol pemerintah terhadap data warganya.
“Aplikasi yang pernah dibatasi seperti world.id bisa kembali mengelola data pribadi orang Indonesia, asalkan data tersebut disimpan di Amerika Serikat,” tegas Alfons.
Sementara itu, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (Presidential Communication Office/PCO), Hasan Nasbi, memastikan bahwa kerja sama dengan AS tetap mengacu pada aturan perlindungan data pribadi Indonesia. Menurut dia, pertukaran data hanya akan dilakukan dengan negara yang diakui memiliki sistem perlindungan yang kuat.
“Kita hanya bertukar data berdasarkan UU Perlindungan Data Pribadi kepada negara yang diakui bisa melindungi dan menjamin menjaga data pribadi,” ujar Hasan melalui akun X resminya.
“Soal pengelolaan data, kita lakukan masing-masing,” tambahnya. (EW-26)